Analisis Cerpen: “Sang Jiwa”

Orang berkata cinta itu buta.. Akh, apanya yang buta! Justru cinta itu aneh. Aku pun merasakan itu karena mencintai seorang lelaki namun hatiku menolaknya Alasannya karena ketidakyakinanku padanya. Hanya, tetap saja sesuatu menggodaku untuk terus menerima lelaki itu. Ya, dia cinta pertamaku yang aku cintai dengan birahi. Lalu aku putuskan begitu saja. Padahal dia mencintaiku sepenuh hati.

Aku kembali menjalin hubungan dengan lelaki lain. Tentu saya aku putuskan lagi dan sampai saat ini aku terus melakukan itu. Tapi bayangan lelaki pertamaku terus saja membayang dalam angan-angan. Dia begitu jauh memang. Aku tak tahu apa dia masih bernyawa atau tidak. Yang pasti aku sangat merindukannya. Aku tahu cinta yang tinggi itu hanya pada Tuhan. Guru agamaku yang mengatakannya sewaktu aku SD. Dasar saja manusia beriman tipis, cintanya lebih pada sesuatu yang semua abstrak. Bukankah kita tidak akan abadi di dunia?

Pernah suatu waktu tak sengaja aku bertemu dengannya. Ooohh..dia begitu dekil, bau, kumal, setelah lama kutinggalkan. Jijik aku melihatnya, sambil buru-buru berpaling. Cinta itu memang unik, sampai-sampai ketika aku berduaan dengan setiap pacar-pacarku, selalu terbesit paras dalam angan. Tapi ia hanya membekas sebentar, lalu aku lupa padanya. Kekayaan pacar-pacarku, jalan-jalan ke Bali sebagai hari ultah, mengikis kangenku padanya.

Di suatu pagi yang cerah, aku bercermin dan tak sengaja menemukn segores keripus di dahi. Keesokan harinya keriput itu semakin berlipat-lipat dan memenuhi hampir seluruh tubuhku. Ternyata aku telah menjadi renta. Heran…..kenapa waktu bisa berjalan begitu cepat dalam kecintaanku pada kesenangan dunia. Dan tiba-tiba saja semua kemolekan dan kemegahan diriku menghilang. Semua pacar-pacarku memilih mengambil langkah seribu dibanding menemani si renta ini.

“Heeeeeiiii…..kemanakah kalian pergi? Kenapa kalian meninggalkanku? Bukankah dulu aku yang kalian puja, si cantik nan agung!” Jeritku.

Memang aku bukan lagi seorang gadis, tapi aku bisa melakukan operasi plastik. Bukankah dengan uang segala sesuatu bisa didapat. Ku pasti bisa mendapatkan wajah muda kembali. Dan aku memang muda kembali. Lalu aku rayakan kejayaanku dengan menghabiskan seluruh hartaku untuk minum-minum dan berpesta pora. Dalam waktu sekejap, semua habis tak tersisa. Seakan-akan sesuatu telah menyihir lalu menenggelamkan kemegahan yang aku punya. Tak ada lagi pestapora, minuman keras atau lelaki.

Lelaki? Huh, Jelas saja mereka tak mau bercinta dengan wanita berbau tanah dan miskin. Walau aku memohon seribu kali pun untuk dikasihani, mereka malah akan meludahi, mendamprat dan melemparku keluar. Aku menangis meratapi semuanya. Diriku sengsara. Sungguh benar apa yang dikatakan Allah SWT dalam firman-Nya, tak ada yang abadi di dunia fana ini. Hanya Dzatlah yang abadi menguasai alam semesta.

Ketika aku menangis tersedu, cinta pertamaku tiba-tiba datang mengusap. Ternyata dia tidak pernah mau meninggalkanku. Dia masih setia menunggu dengan sabar sampai kutersadar. Sadar akan keegoisan, kerakusan, perselingkuhan, kesenangan hedonisme yang telah menyengsarakan pacar pertamaku, Jiwa.

Ya, sang Jiwa terus menunggu datangnya kebaikan. Ia begitu kurus, dekil dan kumal. Aku tidak mengakui Jiwa padahal kesetiaannya padaku tak terelakan. Penah aku merawat Jiwa? Atau sekedar tersenyum pada Jiwa? Tidak. Malah aku memandang jijik padanya seakan dia kotoran manusia. Bila saja dulu aku memilih bersamanya, Jiwa ku akan lebih bersih. Saat ini, Jiwa yang dekil, kumal dan bau tengah duduk disampingku. Ia masih menawarkan kesudiannya untuk menerimaku sebagai pendamping hidup.***

(Sang Jiwa, terbit di Koran GALAMEDIA, oleh Ibu Lucy Pujasari Supratman)

Dari cerita pendek “Sang Jiwa” tersebut, kami memiliki pemikiran bahwa cerita pendek tersebut sangat ringan untuk di baca khalayak. Konflik dalam cerita pendek di atas pun sangat baik di kemas dengan beberapa efek perkataan yang baik diringkas hingga menjadi cerita pendek yang enjoyable pagi penikmat cerita pendek.

Untuk lebih spesifiknya dari cerita pendek tersebut, kami ingin mengaitkan cerita pendek yang berjudul “Sang Jiwa” di atas dengan perspektif psikologi komunikasi manusia. Setelah kami mendiskusikan beberapa hal yang dapat di kaitkan dengan perspektif psikologi komunikasi manusia, kami mangambil sebuah kesimpulan bahwa cerita pendek tersebut masuk ke dalam perspektif behavioral, psikoanalisis dan humanistik. Mengapa?

  1. Karena saat pemeran “Aku” tersebut di saat hidupnya masih dalam keadaan sempurna dan berada, pemeran “Aku” tersebut lebih mengikuti Id nya, dapat di lihat pada saat pemeran “Aku” menyia-nyiakan harta yang dimilikinya, berganti-ganti pacar, dan menyakiti sang Jiwa. Oleh sebab itu, pemeran “Aku” dalam cerpen “Sang Jiwa” ini lebih mengikuti Id yang mendorong akan kesenangan, yang berusahan akan kepuasan dari keinginan pemeran “Aku” tersebut yang di sebut psikoanalisis.
  2. Selain itu, dalam cerita pendek tersebut terdapat unsur behavioral. Terdapat tingkah laku yang di pelajari paragraf bagian akhir. Pemeran “Aku” menyesali akan tingkah lakunya semasa ia masih memiliki segalanya dan hidup sempurna. Lalu ia berfoya-foya hingga ia mengalami kesensaraan setelah itu. Dan pemeran “Aku” tersebut mengambil pelajaran dari tingkah laku yang lama menjadi tingkah laku yang baru.
  3. Dan yang terakhir, kami beranggapan bahwa cerpen “Sang Jiwa” diatas mengandung prinsip humanistik, karena dalam cerpen tersebut terlihat bahwa pemeran  “Aku” mulai mengenal dirinya dan lingkungannya yang sudah terpuruk akan kemiskinan karena berfoya-foya dan kesensaraan yang dialami pemeran “Aku”. Selain itu, di akhir paragraf pemeran “Aku” tersebut berhasil memahami lingkungannya dan dirinya sendiri, sehingga ia menyadari bahwa Ia memiliki Jiwa yang tidak pernah meninggalkannya.

________________________________________________________________________________________

Disusun oleh:

Baiq Shanazt Quamilla // 1502144252

Rinaldy Danis Harzandy // 1502148187

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.